Siaga Bahasa: 08112654302 Email: balaibahasadiy@kemdikdasmen.go.id

Informasi

Artikel

Meruwat Bumi, Meruwat Nusantara

Bulan November 2025, meski tidak dinyatakan secara resmi oleh Negara, adalah bulan bencana bagi Indonesia. Dampak dari bencana adalah adanya korban, baik nyawa maupun harta. Semua tidak ada yang menduga meski BMKG sudah mengingatkannya. Dengan peralatan yang makin canggih, lembaga resmi bentukan pemerintah itu dapat memprediksi perubahan cuaca, baik yang ringan maupun yang ekstrem. Ada yang mendengarkannya lalu berjaga-jaga dengan cara mengungsi, tetapi ada juga yang mengabaikannya dan akhirnya menjadi korban bencana.
Masyarakat kaget ketika sebagian wilayah Cilacap dihajar banjir. Sebelumnya wilayah Pantura sudah menderita akibat curah hujan tinggi. Padahal, belum sempat orang bernapas, ada kabar terjadi longsor di Banjarnegara, Jawa Tengah. Kemudian, disusul erupsi Gunung Semeru di Jawa Timur. Gunung api tertinggi di Pulau Jawa itu memuntahkan lahar dan awan panas. Ketika disusul hujan deras, terjadi banjir lahar dingin. Awan panas dan banjir lahar dingin itulah yang meluluhlantakkan beberapa desa dan merenggut nyawa sebagian penghuninya.
Entah berapa rumah rusak akibat banjir dan longsor. Nilai harta benda yang hilang dapat dihitung. Namun, bagaimana dengan nyawa mereka yang mendadak melayang?  Tidak mungkin kehidupan dinilai dengan rupiah!
Ugal-Ugalan
Bukan rahasia lagi bahwa setiap kali terjadi bencana yang dicari adalah kambing hitam sebagai penyebab bencana. Jarang sekali ada pejabat yang mengakui kesalahannya, baik sekarang maupun pada masa lalu.
Kita semua terhenyak kaget ketika mak bedhundhuk terjadi bencana banjir bandang yang menghantam sebagian wilayah Sumatra. Tapanuli Tengah, Tapanuli Selatan, Padang, Sibolga, Medan, dan wilayah sekitarnya nyaris luluh lantak akibat dihantam banjir bandang. Ribuan rumah porak poranda dan sebagian hanyut diseret banjir. Puluhan jembatan rusak. Jalan-jalan amblas atau tertimbun lumpur yang cukup tebal. Jaringan listrik padam. Ribuan orang menjadi pengungsi. Mereka kehilangan rumah dan harta benda miliknya.
Di tengah kepedihan melihat saudara-saudara sebangsa dan setanah air itu menderita, mata kita dibuat terbelalak. Akal sehat siapa pun akan terusik. Nurani kita akan menggugat. Ternyata banjir bandang itu membawa ribuan kubik kayu gelondongan!
Hal itu sudah cukup menjadi bukti bahwa alam telah dikelola secara ugal-ugalan! Jutaan hektare hutan diserahkan kepada mereka yang tamak harta, tetapi buta nurani. Sangat naïf jika pejabat-pejabat setempat tidak tahu bahwa ada pembalakan liar di hutan yang mestinya mereka jaga dan lindungi. Tidak mungkin mereka tidak tahu bahwa setiap hari kayu-kayu berdiameter besar itu diangkut dengan kendaraan-kendaraan tonase besar pula.
Masihkah kita menyalahkan cuaca ekstrem? Masihkah kita menyalahkan hujan yang turun dari langit? Padahal, hujan itu merupakan berkah dari Sang Pencipta!
Ruwatan
Sebagai tokoh penghayat kepercayaan kepada Tuhan Yang Maha Esa, Sutrisno yang tinggal di Temon, Kulonprogo tidak mengutuk bencana yang bertubi-tubi menghantan bumi Nusantara tercinta ini. Atas kerja sama dengan Balai Bahasa Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY), ia mengadakan laku sebagaimana layaknya orang Jawa ketika sedang menghadapi cobaan besar. Laku itu berupa ruwatan.
“Ruwatan itu melepaskan atau membebaskan diri dari kutukan atau menghindarkan diri dari halangan. Semua orang hidup pasti menghadapi halangan. Namun, halangan itu satu dengan yang lain tidak sama,” ujar Sutrisno di rumahnya, Seling, Temon, Kulonprogo, DIY.
Ruwatan memang tidak diniatkan untuk mendatangkan mukjizat dari langit yang turun tiba-tiba. Namun, sekurang-kurangnya itu dilakukan untuk memberikan peringatan kepada masyarakat, khususnya yang diberi amanah mengelola bumi beserta isinya di wilayah masing-masing. Mereka diingatkan untuk mencegah bencana serupa pada tahun-tahun yang akan datang. Dalam ruwatan ada sesaji berupa aneka macam jenang. Hal itu bertujuan mengingatkan jati diri kita sebagai ciptaan Tuhan Yang Maha Esa.
“Ada jenang putih. Kita diingatkan ketika lahir sebagai makhluk suci. Jenang merah mengingatkan tentang api: simbol dari energi dan kekuatan. Jenang baro-baro, merah dan putih, mengingatkan bahwa hidup itu harus ada keseimbangan. Jenang palang itu mengingatkan agar kita menghindari halangan hidup,” tutur Sutrisna. Dia pun lalu menjelaskan makna dari tumpeng robyong, tumpeng kuning, sembilan nasi golong, ingkung, jajanan pasar, kembang setaman, kembang kenanga, dan lain-lain.
Ada yang menarik dari penjelasan Sutrisno, yakni asal mula nama Purworejo. “Itu dari kata purwakaning raja atau ‘awal mula adanya kerajaan di Jawa’!” katanya yakin. Ternyata hal itu tidak jauh berbeda dari dugaan sejarawan Belanda, W.J. van der Meulen, S.J. Salah satu pendiri Universitas Sanata Dharma Yogyakarta itu menduga bahwa di Purworejo dahulu ada kerajaan bernama Holing. Nama itu berasal dari kata bhagahalin, lalu menjadi halin, dan akhirnya holing. Kerajaannya ada di lembah Sungai Bogowonto. Bhagahalin kemudian menjelma menjadi bagelen yang sekarang bernama Purworejo.
—————–               Budi Sardjono
  • CIOBET88 4D SLOT

    SLOT GACOR HARI INI CIOBET88

    LIVE SCORE BOLA CIOBET88